Kamis, 14 Desember 2017

(Review Novel) Tan : Gerilya Bawah Tanah


Judul : Tan : Gerilya Bawah Tanah (Trilogi Tan Malaka 2)
Pengarang : Hendri Teja
Penerbit : Javanica
Terbit : November 2017
Halaman : 507 halaman
Berat Buku : 500 gr

Saya senantiasa yakin jika kita akan semakin muda memahami kejadian hari ini dengan cara memahami kejadian di masa lampau. Novel ini salah satunya. Novel ini mengisahkan perjalanan Tan Malaka, salah satu tokoh yang paling berpengaruh (selain Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.) pada zaman perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Tidak keseluruhan memang, melainkan pada periode 1926-1927, yakni sesudah pemberontakan rakyat.

Tan Malaka dilupakan oleh bangsa Indonesia sejak era Orde Baru. Jujur saja, hampir tidak saya kenali sosok Tan Malaka sampai akhirnya mengecap dunia perguruan tinggi. Siapa sangka bahwa sosok ini bukan cuma tenar lantaran label Partai Komunisnya. Tan Malaka lebih besar dari itu.


Baru saya pahami bahwa Sukarno pun terinspirasi oleh Tan Malaka. Saat Sukarno hendak mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) terlebih dahulu ia berkirim surat kepada Tan Malaka. Sukarno mohon sokongan. Buku-buku Tan Malaka, utamanya yang disiarkan oleh Partai Republik Indonesia (PARI) menjadi satu literature yang dibaca tuntas oleh Sukarno dan kawan-kawannya.

Tapi Tan Malaka bukan satu-satunya yang dilupakan. Ada juga Subakat, Djamaluddin Tamin, dan Winanta(?); saya bertanya-tanya apakah Winanta ini tokoh fiksi atau nyata? Lalu ada PARI. Nama-nama ini jarang terdengar dalam khasanah sejarah bangsa. Padahal mereka termasuk pendorong gerakan kemerdekaan Indonesia sejak gagalnya pemberontakan rakyat itu.

Bahkan dituliskan bahwa Tamin dan PARI yang berkecimpung di Singapura amat berjasa bagi gerakan kemerdekaan Malaysia. Mereka menyiarkan gerakan melawan kolonialisme di sana, dengan bekerjasam dengan Melayu Islam. Dan ini mengingatkan saya pada desas-desus itu, bahwa apabila tidak terjadi kecelakaan sejarah, Malaysia dan Singapura itu akan bergabung dengan Indonesia.

Yang patut diacungkan jempol adalah riset dari novel ini. Luar biasa! Saya salut dengan kerja keras pengarang sehingga menceritakan latar di banyak negara, dari Singapura, Malaysia, Bangkok, Filipina sampai daratan Cina dengan begitu detail. Kegelisahan zaman waktu itu dipotret dengan cermat sekaligus budaya yang melingkupinya. Jelas, narasi ini tidak akan mungkin bisa ditulis kalau sang pengarang tidak melakukan riset yang memadai.

Novel ini layak dibaca sebagai perkenalan level kedua dari seorang Tan Malaka. Jika pada Tan: Sebuah Novel, Tan Malaka digambarkan sebagai sosok cerdas, tetapi peragu, maka pada novel ini Tan Malaka sudah terbentuk karakter kepemimpinannya. Ia sigap menganalisis kejadian-kejadian zaman, tetapi juga sosok orang buruan paranoid. Wajar saja mengingat pada episode ini musuh Tan Malaka sudah bertambah. Bukan cuma agen intelejen Belanda, tapi juga Amerika Serikat, Inggris dan Perancis.

Izinkan saya mengutip quote legendaris dari novel ini:
"Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi." 
Quote ini diucapkan oleh Tan Malaka saat ia diinterogasi oleh polisi rahasia Belanda, Viesbeen pada Desember 1932. Pada saat itu, Tan Malaka sudah bertekad mati bunuh diri daripada dikembalikan ke Hindia Belanda sebagai seorang kriminal.

Novel ini dapat menambah wawasan kita mengenai perjuangan orang-orang kiri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ya, ternyata mereka juga memiliki andil yang besar dalam memerdekakan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar